Seni
pertunjukan Tayub merupakan pertunjukan seni yang diadakan untuk ungkapan rasa
syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa melalui media sedekah bumi (bersih desa),
ataupun pada saat masayrakat punya hajat yang biasannya diselenggarakan pada
saat musim panen.
Unsur yang tidak bisa dipindahkan dari seni pertunjukan langgeng tayub adalah:
- Waranngana(Sinder) : Penari putri yang mengawali acara dengan jogged
gembyong,
sampai
selesai pertunjukan
- Pramugari : Orang yang mengatur jalannya pertunjukan.
- Pengibing : Tamu yang mengikuti jogged bersama denga waranggana
- Pengrawit : Orang yang menabuh (memainkan) gamela.
Gending (lagu) eling-eling adalah gending pakem pedayangan sebagai awal
pertunjukan yanh merupkan symbol dalam keprasahan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan menghormati leluhur-leluhur yang ada di suatu wilayah.
Selesai pendenyagan rangkaian acar dilanjutkan pramugari ngedhok (Joged) dengan
gending ayak, mulai mengatur pengibing yang di awali dari tuan rumah / tali
aris semua tamu yang hadir kemudia n semua tamu yang hadir sampai acara
selesai.
TAYUBAN sebagai sebuah tradisi masyarakat Jawa
Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah Istimewa Yogyakarta
sebenarnya hanyalah sebentuk tarian. Seperti halnya cokek, yang dikenal dalam
kebudayaan masyarakat Betawi. Dalam
asumsi antropologi budaya, kebudayaan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa
sejarah yang menyakitkan.
Perasaan
tertekan sebagai akibat kehidupan di era feodal dan kolonial ditransformasikan
ke dalam bentuk seni
pertunjukan. Meski dari awal tayub adalah seni gambyong istana, pada
perkembangannya harus keluar dan terdegradasi
menjadi seni rakyat, yang makin hari dipandang dari sisi mesumnya, berkualitas
rendah, dan bertendensi prostitusi. Prof
Dr Suripan Sadi Hutomo (alm), pakar filologi dan folklor humanis, pernah
melukiskan bahwa pada tingkatan seni rakyat
yang lebih rendah lagi, tayuban mengalami perubahan.
Kesenian
ini dinamakan janggrungan, di mana waranggono (ronggeng, tandak, kledek,
taledek, ledek) ngibing di antara
para blandhong (penebang kayu) di pinggir hutan demi nafkah. Cliffort Geertz
menyebutnya sebagai penari jalanan-di
Yogyakarta dikenal dengan mbarang-yang seringkali juga ngamen dari rumah ke
rumah atau pada suatu keramaian.
Padahal, dengan menelusuri tayub dari kajian etimologi akan ditemukan kondisi
yang bertolak belakang. Soegio Pranoto-
sesepuh tayub asal Nganjuk-meng-kiratabasa-kan tayub sebagai ditata ben guyub
(diatur agar tercipta kerukunan),
sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan.
Nilai dasarnya adalah kesamaan
kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni, baik
kemampuan sebagai penabuh gamelan
(pengrawit) ataupun penarinya. Kesamaan ini akan melahirkan keselaras-serasian
tayub sebagai suatu bentuk tarian;
hentakan kaki yang sesuai dengan bunyi kendang, lambaian tangan seirama
gambang, atau lenggok kepala pada tiap
pukulan gongnya. Meski pada perkembangannya, “pergaulan” dimaknai-secara
luas-sebagai bentuk silaturahmi.
Di
daerah Malang, Pasuruan, Madiun dan Kediri, misalnya, wujud dari silaturahmi
ini berupa ikatan bowo-an-di Kediri
dikenal dengan mbecek-di mana setiap orang memiliki tanggung jawab untuk saling
memberi dan mengembalikan
bantuan. Tradisi ini terkait erat dengan peristiwa hajatan, baik pernikahan,
khitanan, ataupun kematian.Dan, menjadikan
tayub di daerah ini identik sebagai pertunjukan resmi dalam hajatan. “Orang
yang nanggap tayub itu orang yang blater
(pergaulannya luas),” tutur Samad Heriyanto, seniman tayub asal Malang. Semakin
luas ikatan bowo-an yang dimiliki
seseorang bisa dipastikan semakin ramai pelaksanaan hajatannya.
Paradoks
atas kondisi tayub saat ini tidak lepas dari lemahnya kemampuan masyarakat
memahami kebudayaan sebagai
dasar dalam proses kehidupan. Kelompok seniman bisa saja mengukuhkan dirinya
sebagai komunitas yang otonom dan
mandiri.
Komunitas religi
Dalam
Theater in Southeast Asia, JR Brandon menuturkan pernyataan bahwa Islam tidak
membenarkan adanya figur
dalam keseniannya. Pemikiran ini ditetapkan juga dalam seni pertunjukan.
Akibatnya, daerah-daerah yang mempunyai
identitas Islam yang kuat biasanya tidak memiliki seni pertunjukan yang
profesional. Secara implisit hal ini berarti bahwa
daerah-daerah tersebut tidak membantu tumbuhnya seni pertunjukan tradisional
tertentu, yang ditolak oleh ajaran religi
yang dianutnya. Kebenaran atas pernyataan Brandon ini sekiranya perlu untuk
dibuktikan. Sebab, masih ada ronggeng
dan dombret yang tumbuh di dalam kebudayaan dengan identitas Islam yang kuat;
masyarakat Betawi, yang secara
geografis dekat juga dengan masyarakat Sunda. Tentunya, hal ini tidak terkait
dengan faktor kepemilikan atas kesenian
tersebut, yang kebanyakan dipegang oleh orang Islam yang tidak taat pada
prinsip-prinsip Islam (abangan).
Namun,
konteks dari pernyataan Brandon ini dapat ditemui dalam kesenian tayub. Di mana
tayub memang tumbuh
berkembang pada daerah yang tidak memiliki identitas Islam yang kuat. Di Jawa
Timur, perkembangannya pesat pada
wilayah Tuban, Bojonegoro, sisi selatan dari Lamongan, Surabaya, pinggiran
Kabupaten Pasuruan sampai Malang,
Nganjuk, Tulungagung, dan Madiun.
Sikap
menolak ini seringkali juga diwujudkan dengan bentuk menjauhi pelaku dan
seniman yang terlibat di dalamnya.
Sebagai Ketua RW, Soeripto lebih bisa merasakan sikap warganya tersebut. Pada
suatu kesempatan, Soeripto bersiap
keliling RT untuk menarik sumbangan dengan map ditenteng di tangan.
Alasan
dosa merupakan dogma dan titik mati atas suatu aksi atau gerak. Hal ini
didasarkan pemahaman akan teks dan
konteks ajaran agama. Akibatnya, seperti tidak ada kebenaran dan kemaslahatan
pada setiap gerak yang mengandung
dosa. Bahkan, yang ada hanyalah mudaratnya. Dalam tayub, gerak dan aksi itu,
menurut Soegio Pranoto, adalah suwelan
dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, hakikat suwelan adalah pemberian
uang kepada waranggana oleh
seseorang setelah ngibing. Ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih atas
kesempatan untuk ngibing bersamanya. Nilai
dan jumlah suwelan tidak ditentukan, tergantung kemampuan. Namun, cara
pemberiannya yang unik; suwelan biasanya
diselipkan pada belahan payudara waranggana. Bisa pada bagian luar atau juga
ada yang diselipkan lebih dalam lagi
pada sisi-sisi payudara. Tentunya, pemberi suwelan berharap tidak sekadar
memberi sebagai bentuk afinitas afektifnya.
Adanya
penolakan atas proses pemberian suwelan ini sedikit demi sedikit membawa
perubahan. Suwelan kini telah
diatur cara pemberiannya melalui seorang pramugari-orang yang mengatur jalannya
tayub-atau bisa diselipkan di balik
sampur waranggana, tepatnya di atas bahu. Bahkan, di Malang, sejak tahun 1976,
oleh Samad Heriyanto diusulkan untuk
pemakaian baju bagi para waranggana saat ngibing.
Sementara
minuman keras dalam tayub, menurut Soegio Pranoto, pada awalnya difungsikan
sebagai penghormatan
kepada tuan rumah, pemuka desa, dan para undangan. Bila minuman yang ditawarkan
oleh waranggana kepada tuan
rumah diminum, itu tandanya pengunjung pertunjukan tayub juga boleh meminum
minumannya.
Fungsi
lainnya, dengan minuman ini diharapkan bisa membantu sugesti dan kepercayaan
diri seseorang untuk ngibing.
Namun, pada era 1970-an, menurut Samad Heriyanto, tayub mulai dijajah oleh
minuman keras. Minuman sekarang bukan
lagi berada di dalam lingkaran area tayub dan sudah beraneka macam merek yang
disediakan.
“Inilah
kesalahan agamawan di Indonesia,” kata KH Ahmad Musta’in Syafi’i, MAg, pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang, menegaskan. Dengan hanya berbasis pada fikih, mereka cukup memandang
gerak dan aksi untuk
menghukumi. Dan, hukumannya hanya ada halal dan haram.
Pada
kelompok tertentu bisa sampai menghilangkannya. Musta’in-dosen pada Institut
Keislaman Hasyim Asy’ari (Ikaha)-
menyayangkan dianutnya fungsi hakim ini daripada peran sebagai pendidik.
Konteks kesenian, terutama seni pedesaan,
memiliki hakikat sebagai ekspresi dan semangat untuk dekat dengan
kepercayaannya. Bentuknya bisa dengan tari, ritual
seperti bersih desa atau keyakinan pada danyang (penunggu). Seharusnya,
pendekatan awal yang digunakan ada pada
sisi akidah (teologi); biarkan seni tayub berkembang, ambil positifnya lalu
masuki dan arahkan.
Aparatur lokal
Tahun
1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan gerakan yang membuat situasi
nasional berubah. Kesenian
tradisional pun mengalami masa kritis. Manifestasi Lekra -Lembaga Kebudayaan
Rakyat yang berafiliasi pada PKI- pada
kebudayaan menjadikan seniman mati ekspresi. Sebab, ada ketakutan akan menjadi
bentuk partisipasi dan sikap politik
Lekra. Pada masa ini, ABRI menggelar Operasi Karya, yang salah satunya
dilakukan dengan menaungi kesenian
tradisional. Muncullah Ludruk Wijaya Kusuma dan Bhirawa (AD), Ludruk Bumi Hamka
(Marinir), dan Ludruk Bhayangkara
(Kepolisian).
Bentuk
dari penataan ini, terutama pada perizinan, terkait dengan penyelenggaraan
keamanan dan ketertiban umum.
Meski besar biaya perizinan bervariasi di tiap daerah dan ditanggung oleh tuan
rumah, tetapi esensi dari izin tersebut tidak
bisa dirasakan.
Di
Malang, biayanya berkisar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Tetapi, saat
pertunjukan, seringkali tidak ada petugas
keamanan yang datang menjaga. Apalagi menertibkan pengunjung yang mabuk,
berbuat rusuh, atau menggoda
waranggana. Padahal, menurut Samad, bila mereka datang, itu merupakan
kehormatan bagi tuan rumah. Dikasih makan
dan rokok, duduk berjajar di baris depan, ngibing, bahkan pulangnya sering
menerima angpao.
Perizinan
lainnya, seperti di Nganjuk, Tuban, dan Malang, adalah diterbitkannya advise
(nomor induk) bagi waranggana.
Tanpa advise ini, seorang waranggana dilarang untuk pentas dan minimal setahun
sekali harus memperbarui advise ini.
Biayanya mungkin tidak terlalu besar, sekitar Rp 50.000, tetapi cukup
menunjukkan adanya peran negara dalam
mematikan kehidupan, jiwa, dan bakat seni seseorang.
Ini
bisa dilakukan mengingat di Nganjuk dan Tuban menunjukkan aktivitas yang tinggi
dalam penyelenggaraan tayub.
Nganjuk memiliki agenda Wisuda Waranggana, berpusat di Padepokan Langen Tayub,
Desa Ngrajek, Tanjunganom,
Nganjuk. Acara ini digelar setiap tahun di bulan besar (Jawa). Setelah
penempaan selama 6 bulan dari olah vokal hingga
tari, calon waranggana akan diwisuda di lokasi sekitar punden Ki Ageng Gribig.
Di
Tuban, menurut Sutardji, Kepala Bagian Kesenian Dinas Pariwisata Tuban, setiap
tahunnya terdapat 1.500-3.000 kali
pertunjukan tayub. Bahkan, sampai dengan tahun 2004 sudah ada yang booking
pementasan, sedangkan tahun 2003 ada
158 izin pementasan. Dinas Pariwisata Tuban, November 2002 lalu, menggelar
Citra Resmi Waranggana, acara tahunan
untuk meresmikan (mewisuda) waranggana baru.
Bagi
Endang Sugiarti, waranggana senior, acara ini semakin memberatkan calon
waranggana. Sebab, segala kebutuhan
untuk wisuda menjadi tanggungan pribadi, bukan dari Dinas Pariwisata.
“Jumlahnya besar, bisa jutaan. Sewa dokar,
pakaian, pendaftaran, sampai make-up,” tuturnya. Tayub dan senimannya saat ini
menjadi obyek negara. Fungsi fasilitator
berubah menjadi eksekutor, atas hak hidup profesi seni seseorang. Menafsir
kembali makna tayub sebagai ditata ben
guyub, adalah menata kembali kepentingan negara terhadap tayub .
Terakhir,
penulis ingin menyampaikan satu pesan dari Samad Hariyanto kepada Pemerintah
Kota Malang, “Apa, sih,
perhatian mereka pada tayub. Sebagai insan tayub, saya belum pernah itu
dikumpulkan, diajak ngobrol. Ketemu paling
cuma waktu pengurusan izin.”
Tayub Bukan Tarian Mesum
ANGGAPAN tayub sebagai tarian mesum merupakan
penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh tayub identik dengan hal-hal yang
negatif. Dalam tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Selain itu, tayub
juga menjadi simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot
filosofis tentang jati diri manusia.
Kesan
tayub sebagai tarian mesum muncul pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari
Inggris, dalam bukunya berjudul ”History of Java”, menulis tayub sebagai tarian
ronggeng mirip pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti
asal Belanda, G Geertz dalam bukunya ”The Religion of Java”.
Tapi,
menurut koreografer Tayub Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes
bila kesan Rafles dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan
mesum yang diberikan pada tayub hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas
yang baru melihat kulitnya saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan nilai
filosofisnya.
Dalam
buku ”Bauwarna Adat Tata Cara Jawa” karangan Drs R Harmanto Bratasiswara
disebutkan, tayuban adalah tari yang dilakukan oleh wanita dan pria
berpasang-pasangan. Keberadaan tayub berpangkal pada cerita kadewatan (para
dewa-dewi), yaitu ketika dewa-dewi mataya (menari berjajar-jajar) dengan gerak
yang guyub (serasi).
Menurut
Poedjosiswoyo, berdasarkan sejarahnya, tayub lahir sebagai tarian rakyat pada
abad Ke XI. Waktu itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton
dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Betapa tayub memiliki
kandungan nilai adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan dalam buku
”Gending dan Tembang” yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono X.
Dalam
buku itu disebutkan, tayub telah dipakai untuk penobatan Prabu Suryowiseso
sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur, pada abad XII. Keraton Jenggala kemudian
kemudian membakukan tayub sebagai tari adat kerajaan, yang mewajibkan
permaisuri raja menari ngigel (goyang) di
pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Nilai Agamis
Tayub
juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad XV,
ketika tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa
oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub
dengan dzikir untuk mengagungkan asma Allah.
Budaya
kejawen penganut paham tasawuf menilai tayub kaya kandungan filosofis akan
gambaran jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian
itu selalu ada penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi
keberadaan Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping,
yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia,
terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah
(putih).
Selain
itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai
penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia. ”Yang
inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus terlebih dahulu mampu
mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik dengan pakem wayang lakon
Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,” kata Poedjosiswoyo. (Bambang
Pur-43)
KESENIAN
SANDUR
(Teater Rakyat Yang Hampir Punah)
Seni
pertunjukan Sandur dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan tradisional
yang berbentuk teater tradisional. Sebagai bentuk teater tradisional, Sandur
memiliki ciri-ciri yang sama dengan teater tradisonal daerah lainnya yaitu
mempunyai sifat yang sederhana dalam penyajiannya.
Sebagai bentuk teater tradisional, seni pertunjukan Sandur mempunyai unsur
cerita (drama), Tari, Karawitan, Akrobatik (Kalongking) juga terdapat
unsur-unsur mistis, karena dalam setiap pementasanya selalu menghadirkan
Danyang (roh halus).
Asal- usul Kesenian Sandur.
kesenian sandur berasal dari permainan anak-anak yang kemudian berkembang
menjadi sebuah produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Karena
sulitnya mencari bahan referensi dan minimnya studi tentang kesenian ini, maka
awal keberadaannya tidak diketahui. Namun dari proses wawancara dengan para
tokoh kesenian Sandur yang masih ada, dapat diperoleh keterangan bahwa Sandur
ada sejak jaman kerajaan yang masih ,menganut aliran kepercayaan atau animisme.
Kata Sandur ada beberapa versi yang di antaranya dari kata san yang berarti
selesai panen (isan) dan dhur yang berarti ngedhur. Dari sumber lain mengatakan
bahwa sandur berasal dari bahasa Belanda yaitu soon yang berarti anak-anak dan
door yang berarti meneruskan. Sumber lain juga menyebutkan bahwa Sandur yang
terdiri dari berbagai cerita tersebut dengan sandiwara ngedur, artinya kesenian
itu terjadi karena berisi tentang berbagai macam cerita yang tak akan habis
sampai pagi.6
Pada sekitar tahun 1960-an Kesenian ini mengalami kemajuan yang sangat pesat,
hampir di setiap desa di kecamatan kota Bojonegoro memiliki kelompok kesenian
sandur.7 Kemudian pada tahun 1965 setelah meletusnya peristiwa G 30 S/PKI
kesenian Sandur mengalami kemunduran yang sangat drastis. Hal ini disebabkan
Sandur dicurigai telah disusupi oleh Lembaga Kesenian Rakyat (Organisasi massa
milik PKI). Situasi politik pada saat itu membuat kesenian Sandur ini terpojok
dan mengalami kemunduran. Masyarakat pendukungnya menjadi antipati terhadap
kesenian tersebut. Hingga pada tahun 1978 kesenian ini muncul kembali, dan baru
pada tahun 1993 Sandur mulai dipentaskan kembali pada festival kesenian rakyat
berkat usaha dari seniman setempat bekerja sama dengan Departemen Penerangan
dan Dinas Pendidikan dan Kebudayan. Hingga sampai saat ini kesenian Sandur
telah beberapa kali dipentaskan.
Keberadaan Seni Pertunjukan Sandur.
Kesenian tradisional, khususnya seni pertunjukan rakyat tradisional yang
dimiliki, hidup dan berkembang dalam masyarakat, sebenarnya mempunyai fungsi
penting. Hal ini terlihat terutama dalam dua segi, yaitu daya jangkau
penyebarannya dan fungsi sosialnya. Dari segi penyebaran, seni pertunjukan
rakyat memiliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh lapisan masyarakat.
Dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat terletak pada
kemampuannya sebagai pembangun dan pemelihara solidaritas kelompok. Dengan
demikian seni pertunjukan tradisional itu memiliki nilai dan fungsi bagi
kehidupan masyarakat pemangkunya.
Seni pertunjukan Sandur berasal dari permainan anak-anak yang kemudian
berkembang menjadi upacara ritual. Sandur adalah sebuah produk budaya masyarakat
Bojonegoro, khususnya Desa Ledok Kulon. Kehadirannya sebagai bentuk media
interaksi dalam norma kehidupan. Kesenian ini hadir karena solidaritas
masyarakatnya atas nilai tersebut, dalam organisasi kelompok masyarakat
setempat. Dalam kehidupan komunal telah hadir sebuah peradaban baru yang biasa
disebut dengan era transformasi. Era tersebut membawa sistem nilai baru dalam
masyarakatnya dengan masuknya listrik ke daerah ini serta hadirnya aneka barang
elektronik yang melengkapi kehidupan mereka, produk tersebut memberikan wawasan
baru yang datangnya tidak terkendali. Terlebih dengan merebaknya stasiun
televisi yang operasionalnya cenderung menayangkan acara impor, telah
menyebabkan ketidakseimbangan informasi. Hal ini akan berakibat buruknya
tingkah laku remaja. Di sadari atau tidak masyarakat Ledok Kulon merupakan
masyarakat yang cukup selektif, artinya mereka mampu mempertahankan norma dan
adat yang berlaku dalam era transformasi ini. Pada hakikatnya kesenian Sandur
bagi masyarakat Desa Ledok Kulon adalah sebagai penyeimbang dalam menghadapi
era transformasi, di samping sebagai media informasi dan hiburan.
Sandur berawal dari sebuah bentuk permainan anak-anak, yang dalam
perkembangannya lebih berfungsi sebagai ritual. Pertunjukan yang diadakan pada
tanah lapang ini fungsi awalnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil
panen yang dicapai. Pemanggilan roh dan dewa-dewi, perlindungan nenek moyang
terhadap kehidupan mereka, merupakan rangkaian maksud diselenggarakannya
upacara. Sistem dan nilai yang diterapkan mengandung mitos norma-norma dasar
tata laku dalam hubungan kepentingan vertikal dan horizontal. Tata nilai
tersebut merupakan sebuah warisan pemahaman, bagaimana seharusnya siklus
kehidupan orang Jawa. Kehidupan masyarakat agraris merupakan pengilhaman bentuk
kesenian Sandur yang bermakna upacara kesuburan. Upacara ini rutin dilakukan
ketika masa panen tiba. Kehadiran berbagai macam agama didaerah ini sedikit
banyak telah mempengaruhi bentuk penyajian kesenian Sandur, karena pada saat
itu kesenian dan keadaan sosial masyarakatnya merupakan alat politik untuk
legitimasi seorang raja baik pada masa Hindu, Budha maupun pada masa Islam.
Sandur bagi masyarakat berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan,
selain sebagai hiburan. Secara moral Sandur menjadi penyeimbang di era
transformasi ini. Penawaran yang dilakukan oleh jaman, dirasakan tidak selalu
sesuai dengan irama hidup masyarakat setempat, Muatan lokal yang terdapat
didalamnya merupakan esensi hidup masyarakat, sebagai norma yang harus dipertahankan.
Norma-norma tersebut didapatkan dari kehidupan kolektivitas atas wujud dari
solidaritas masyarakat berdasarkan kesepakatan nilai norma sebagai hukum adat
yang tidak tertulis. Usaha yang dilakukan dengan tidak mengubah bentuk
penyajian Sandur merupakan cermin kebutuhan masyarakat atas nilai penyeimbang
dan fungsi kesenian ini dalam kehidupan sehari-hari. Tema cerita yang diangkat
adalah tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, yang merupakan cermin keadaan
realitas sosial.
C.
Sarana Penunjang Pertunjukan Sandur.
Seni pertunjukan Sandur adalah seni pertunjukan rakyat yang sederhana, ini
dapat diketahui dari bentuk pementasannya yang hanya dilakukan di tanah lapang
dan hanya memakai lampu penerangan dari obor.
Sebagai salah satu seni pertunjukan, kesenian Sandur juga memerlukan sarana dan
prasarana penunjang dalam pertunjukannya. Sarana penunjang dalam pertunjukan
Sandur tersebut adalah :
1. Tempat dan Sarana Pertunjukan.
Seni pertunjukan sandur biasanya dipentaskan di tanah lapang, dibatasi pagar berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 8 x 8 meter yang biasa disebut Blabar Janur kuning,
kemudian tali itu diberi hiasan lengkungan janur kuning dan digantungi aneka
jajan pasar, selain itu juga terdapat ketupat dan lontong ketan atau lepet. Dua
batang bambu jenis ori ditancapkan dengan ketinggian kurang lebih 10 – 12
meter, di antara bambu tersebut dipasang tali besar yang menghubungkan kedua
bambu. Kedua batang bambu beserta talinya tersebut digunakan untuk adegan
Kalongking.
Tata cahaya dalam pertunjukan sandur adalah obor mrutu sewu, yaitu sejenis obor
yang lubang untuk menyalakan apinya terdapat lebih dari 3 lubang. Obor mrutu
sewu ini terbuat dari bambu, biasanya dari jenis bambu ori. Bambu ori tersebut
memang banyak terdapat di daerah Bojonegoro. Mrutu sewu ini dipasang di
sekeliling arena pertunjukan.
Seperti halnya dengan jenis kesenian tradisi lainnya yang selalu menggunakan
mantera dan sesaji dalam pementasan, demikian pula dengan seni pertunjukan
Sandur, juga menggunakan mantera dan sesaji. Sesaji ini di buat dengan tujuan
agar acara pertunjukan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sesaji yang
dipersiapkan antara lain, beras, dupa, cikalan yang bagian tengahnya di beri
gula merah, kembang setaman dan kembang boreh.
2.
Waktu Penyajian.
Durasi pertunjukan Sandur tidak memiliki batas waktu tertentu, bisa disajikan 3
hingga 5 jam pertunjukan. Namun seni pertunjukan Sandur biasanya disajikan pada
malam hari mulai pukul 21.00 WIB hingga selesai menjelang subuh atau sekitar
jam 03.00 WIB. Lama dan singkatnya waktu pertunjukan tergantung situasi dan
kondisi permainannya.
3.
Pemain.
Jumlah pendukung pementasan Sandur ini sekitar 20 sampai 25 orang, ke 25 orang
tersebut terbagi dalam perannya masing-masing yaitu, 2 orang sebagai pemain
musik yaitu sebagai Panjak Kendang dan Panjak Gong, 10 sampai 15 orang sebagai
Panjak hore, 1 orang pemain Jaranan dan 1 orang Srati (pawang/dukun), 5 orang
sebagai pemeran tokoh (Germo, Cawik, Pethak, Balong, Tangsil ), dan 1 orang
sebagai pemain Kalongking.
4.
Iringan.
Instrumen musik yang digunakan adalah Gong Bumbung dan sebuah Kendang
Batangan/Ciblon yang dibantu dengan Panjak Hore dan berperan sebagai pelantun
tembang serta tukang senggak. Semua bentuk iringan yang terdapat dalam seni
pertunjukan Sandur memiliki stuktur gending dalam bentuk lancaran, yaitu satu
tabuhan yang terdiri dari 4 gatra (16 sabetan ), tabuhan kenong terdapat pada
sabetan ke 4, 8, 12 dan 16. Tabuhan kempul terdapat pada sabetan ke 6, 10 dan
ke 14, tabuhan ketuk terletak pada ding gatra. Kendangan yang dipakai adalah
pola sekaran pinatut. Tembang yang digunakan dalam seni pertunjukan Sandur
sangat fungsional, selain sebagai pengiring keluar-masuknya pemain juga
berfungsi sebagai mantera pemanggil roh halus.
5.
Kostum.
Kostum merupakan salah satu bagian penting dalam sebuah pertunjukan, begitu
juga halnya dengan seni pertunjukan Sandur yang menggunakan kostum untuk
membedakan karakter peran satu dengan karakter peran lainnya. Kostum yang
digunakan oleh para peran merupakan ciri bagi pemerannya yang mempunyai sifat
khusus.
a. Pethak
Kostum yang digunakan oleh tokoh peran Pethak adalah, kuluk, sumping, dan
surjan berwarna putih. Tokoh Pethak ini menggambarkan masyarakat kelas bawah
yang memiliki karakter pekerja keras, ulet, lugu dan keras dalam pendiriannya.
b. Balong.
Kostum tokoh Balong memakai kuluk, elar, celana cinde dan pakaian hitam. Balong
adalah gambaran masyarakat bawah, mempunyai berkarakter lemah, bodoh, dan mudah
putus asa.
c. Tangsil.
Kostum yang dipakai Tangsil adalah jas, dasi, celana panjang dan memakai topi
Kompeni. Tokoh ini menggambarkan orang yang sudah mapan, kaya, dewasa,
bijaksana dan berwawasan luas.
d. Cawik
Tokoh Cawik biasanya diperankan oleh seorang wanita. Kostum yang dipakai Cawik
adalah kostum penari. Tokoh cawik menggambarkan seorang wanita yang berprofesi
sebagai Sindir (penari tayub).
e. Germo.
Tokoh Germo memakai celana komprang hitam, dan iket. Tokoh ini memiliki
karakter tua, bijaksana dan merupakan identifikasi sebagai seorang pemimpin.
Tokoh tokoh pendukung lainnya seperti Panjak Kendang, Panjak Gong, Panjak Hore,
Tukang Jaran dan pemain Kalongking biasanya memakai kostum seperti petani,
yaitu hanya menggunakan celana komprang warna hitam.
6.
Bentuk Penyajian.
Sandur terdiri dari delapan adegan yang terdapat dalam tiga babak, sedangkan
pergantian babak selalu ditandai dengan tembang yang dilantunkan oleh Panjak
Hore. Dalam seni pertunjukan Sandur tembang berfungsi sebagai pengiring keluar
masuknya peran dan pergantian adegan, selain itu tembang juga berfungsi sebagai
mantera pemanggil roh atau bidadari. Fungsi yang lain adalah sebagai narasi
perjalanan tokoh peran. Ketiga babak tersebut terdiri dari:
a.Babak Pembukaan.
Babak pembukaan ditandai dengan dilantunkannya tembang Ilir Gantu. Para pemain
berada di arena Blabar Janur Kuning. Tokoh Germo memperkenalkan satu persatu
para pemain Sandur kepada penonton. Setelah acara perkenalan selesai para
pemain keluar dari arena permainan menuju ruang rias yang dituntun oleh seorang
perias. Pada saat para pemain tokoh peran keluar untuk dirias. Germo lalu
memberikan narasi yang isinya menceritakan tentang perjalannan bidadari yang
akan datang menuju ketempat pertunjukan dan masuk kedalam para pemeran.
Setelah para pemeran selesai dirias lalu kembali dibawa masuk ke dalam arena
pentas dengan dituntun oleh seorang perias yang membawa obor. Semua pemeran
masuk ke dalam arena pentas dengan kepalanya ditutupi selembar kain.
Pada babak pertama ini, berisi tentang eksposisi atau pemaparan dari awal
kejadian tokoh dan cerita yang akan berlangsung. Babak ini memberikan
penjelasan tentang rangkaian jalannya cerita. Keterangan yang didapat pada
babak ini berisi tentang cerita kelahiran manusia yang diidentifikasikan
melalui simbol-simbol dan tokoh-tokoh di dalamnya.
b.Babak Kedua.
Babak kedua ditandai dengan tembang Bukak Kudung. Pada adegan ini semua pemeran
dibuka kain kerudung penutup kepalanya, selanjutnya telah menempati posisinya
masing-masing. Di babak ini diceritakan tentang perjalanan tokoh Balong dan
Pethak yang tengah mencari pekerjaan. Keseluruhan isi cerita di babak ini
adalah perjalanan tentang kehidupan masyarakat agraris dengan segala
permasalahannya.
c. Babak Ketiga.
Babak ketiga ini merupakan babak penutup, berisi tentang nasib akhir para tokoh
peran. Pada babak ketiga ini akan diadakan atraksi Jaranan dan Kalongkingan.
Kemudian baru diakhiri dengan tembang Sampun Rampung yang menandakan
pertunjukan telah selesai disajikan.
7.
Teks/Naskah.
Kesenian Sandur merupakan sebuah cermin kehidupan masyarakat Desa Ledok Kulon.
Begitu juga sebaliknya, sistem kehidupan masyarakat yang kolektif menjadi titik
tolak dalam penyutradaraan kesenian Sandur ini.
Awalnya cerita yang disajikan dalam seni pertunjukan Sandur hanya berdasarkan
cerita turun temurun dan mitos yang berkembang di daerah tersebut. Penuangan
cerita dan mitologi ke dalam kesenian Sandur belum menggunakaen naskah tertulis
atau masih merupakan cerita tutur. Cerita yang tertulis dalam bentuk teks/naskah
pertama kali dibuat pada tahun 1993 saat Sandur mengikuti pagelaran yang
diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Di dalam naskah ini,
tertulis urutan keluar masuknya para tokoh peran dan urutan tembang yang
disajikan.
Dalam menggarap naskah Sandur, sutradara merupakan kreator. Sutradara berperan
juga sebagai koordinator latihan, sekaligus menjadi mediator untuk mengungkap
naskah dan tujuan misinya. Namun tidak jarang seorang penulis naskah merupakan
sutradara sekaligus pemain. Sutradara dalam Sandur ini biasanya berperan
sebagai tokoh Germo yang berfungsi sebagai dalang dan sekaligus dukun yang
mengobati para pemain Jaranan yang sedang trans.
8. Penonton.
Penonton terdiri dari semua lapisan masyarakat, mulai dari anak–anak sampai
orang tua. Tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenian sandur tergolong
baik, ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah penonton. Tak jarang para
penonton juga ikut menirukan tembang yang dilantunkan oleh para Panjak Hore.